Halo Sobat KSR UNS sering kali kita bertanya-tanya “ Apakah COVID-19 sudah ada obatnya?” namun belum ada penjelasan pasti mengenai hal tersebut, beberapa waktu lalu muncul berita mengenai calon obat antivirus COVID-19 ternyata yang dimaksud adalah penelitian Molnupiravir. Apa Itu Molnupiravir?? Molnupiravir atau MK-4482/EIDD-2801 adalah obat antivirus yang dikonsumsi secara oral (diminum). Awalnya, obat ini dikembangkan sebagai obat flu oleh Emory University di Amerika Serikat. Molnupiravir dikembangkan atas kerja sama perusahaan Merck dan Ridgeback Biotherapeutics. Dalam publikasi resmi di situs Merck, molnupiravir secara signifikan dapat mengurangi risiko rawat inap atau kematian pada pasien dewasa dengan gejala covid ringan hingga sedang. Antivirus ini berpotensi menjadi obat Covid-19 secara oral yang tepat dan nyaman untuk diberikan kepada pasien rawat jalan. Keamanan dan efektivitas molnupiravir sebagai obat penyakit COVID-19 akibat infeksi virus Corona saat ini tengah diuji. Awalnya obat ini dikembangkan sebagai obat influenza dengan dosis pemberian 2 kali sehari selama 5 hari. Karena masih dalam tahap uji klinis, izin penggunaan darurat obat molnupiravir masih belum tersedia dan belum diterbitkan secara resmi, baik oleh FDA maupun BPOM. Obat ini juga belum tersedia di Indonesia. Cara kerja Molnupiravir ?? Ketika dibandingkan dengan perawatan COVID-19 lainnya yang memerlukan transfusi intravena yang mahal seperti antibodi monoklonal dan plasma pemulihan, pemberian Molnupiravir ini akan lebih mudah. Sebelumnya, obat antivirus remdesivir adalah satu-satunya obat dengan persetujuan penuh Food and Drug Administration untuk mengobati COVID-19, juga harus dikirim ke aliran darah. Molnupiravir diketahui mampu mengurangi tingkat keparahan dan menurunkan risiko penularan virus COVID-19 pada pasien bergejala ringan hingga sedang. Beberapa studi praklinis menyatakan bahwa aktivitas antivirus dalam Molnupiravir dapat melawan beberapa virus corona, termasuk SARS-Cov-2 penyebab Covid-19. Molnupiravir bekerja dengan cara mengganggu proses replikasi virus sehingga perkembangbiakannya dapat dihambat. Dalam hal ini, Molnupiravir telah terbukti aktif dalam beberapa model praklinis, termasuk pencegahan infeksi, pengobatan, pencegahan, dan penularan penyakit. Itulah mengapa molnupiravir dinilai efektif untuk mengendalikan jumlah virus dalam tubuh penderita COVID-19 serta memperbaiki kondisi penderita. Hasil Uji Klinis Obat Molnupiravir untuk COVID-19 Sebelum dinyatakan layak dan aman digunakan untuk mencegah atau mengobati penyakit tertentu, suatu obat atau vaksin baru perlu dikaji melalui uji klinis bertahap, yaitu uji klinis fase I, II, dan III. Begitu juga dengan molnupiravir.Data dari hasil uji klinis fase I dan II menunjukkan bahwa molnupiravir aman digunakan dan cukup efektif dalam mengurangi jumlah virus Corona pada penderita COVID-19 derajat ringan. Selanjutnya, hasil sementara uji klinis fase III menunjukkan bahwa molnupiravir juga mampu mengurangi kebutuhan rawat inap di rumah sakit serta menekan risiko kematian hingga sekitar 50%, khususnya pada pasien COVID-19 derajat ringan hingga sedang. Obat ini juga belum terlihat menimbulkan efek samping yang serius. Karena hasil penelitian klinisnya sejauh ini cukup baik, molnupiravir diangggap berpotensi tinggi untuk digunakan dalam pengobatan penyakit COVID-19. Meski demikian, masih dibutuhkan data yang lebih lengkap untuk memastikan efektivitas dan keamanan obat ini. Oleh karena itu, uji klinis molnupiravir di fase III masih terus berlanjut. Pengembangan obat antivirus baru, termasuk molnupiravir, merupakan langkah penting dalam penanganan pandemi COVID-19. Namun, perlu diingat ya Sobat bahwa untuk menekan angka penularan COVID-19, Anda tetap harus mematuhi protokol kesehatan, yakni dengan sering mencuci tangan menggunakan air dan sabun atau hand sanitizer, mengenakan masker saat beraktivitas di luar rumah, menjaga jarak dengan orang lain, menghindari keramaian, dan mendapatkan vaksin COVID-19. Stay safe and stay healthy Sobat KSR UNS! [Humas KSR PMI Unit UNS/Vera Yuliati] Sumber : https://www.alodokter.com/mengenal-molnupiravir-obat-baru-untuk-covid-19 https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211004110145-37-281167/fakta-molnupiravir-obat-oral-pertama-yang-ampuh-lawan-covid https://www.sehatq.com/artikel/potensi-molnupiravir-untuk-obat-covid-19
Wujudkan Herd Immunity Terhadap COVID-19 dengan Vaksinasi
Upaya pemerintah dalam mengatasi pandemi COVID-19 salah satunya adalah dengan menggencarkan vaksinasi COVID-19 untuk seluruh lapisan masyarakat. Sobat KSR UNS pernah dengar istilah Herd Immunity? Apa hubungan herd immunity dengan vaksinasi dalam mengatasi kasus COVID-19? Yuk simak penjelasannya! Menurut World Health Organization (WHO), herd immunity atau kekebalan kelompok merupakan ketika terciptanya perlindungan atau kekebalan terhadap penyakit menular tertentu pada suatu populasi manusia jika ambang cakupan imunisasi tercapai. Kekebalan kelompok dapat tercapai dengan cara vaksinasi. Baca juga : Akhiri Pandemi Covid-19 dengan Vaksinasi Pada laman infeksiemerging.kemkes.go.id, dijelaskan bahwa apabila sejumlah 80% dari populasi kebal terhadap suatu virus, berarti ketika empat dari lima orang bertemu dengan seseorang yang terinfeksi penyakit, maka orang tersebut tidak akan sakit atau menyebarkan virus tersebut sehingga penyebaran virus dapat dikendalikan. Persentase orang yang harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity bervariasi pada setiap jenis penyakit ya Sobat. Semakin menular suatu penyakit, semakin besar proporsi populasi yang harus memiliki kekebalan terhadap penyakit untuk menghentikan penyebarannya. Misalnya pada penyakit campak membutuhkan sekitar 95% dari populasi yang harus sudah divaksinasi. Beberapa persen sisanya akan dilindungi oleh fakta bahwa campak tidak akan menyebar di antara mereka yang sudah divaksinasi. Baca juga : Mengenal KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Setelah Vaksinasi COVID-19 Vaksin melatih sistem kekebalan untuk melawan penyakit dengan menciptakan suatu protein atau yang disebut sebagai ‘antibodi’. Vaksin bekerja tanpa membuat seseorang mengalami rasa sakit. Vaksin akan melindungi dari infeksi virus sehingga tidak menularkan kepada orang lain. Dilansir pada laman covid19.go.id, Ilmuwan WHO Dr. Soumya Swaminathan mengatakan bahwa virus SARS-CoV-2 adalah virus yang sangat mudah menular sehingga dibutuhkan setidaknya 60-70% dari populasi memiliki kekebalan agar benar-benar dapat memutuskan rantai penularan COVID-19. Salah satu tujuan menuju kekebalan kelompok adalah untuk menjaga kelompok rentan yang tidak dapat divaksinasi tetap aman dan terlindungi juga dari penyakit, misalnya seseorang yang bereaksi alergi terhadap vaksin, bayi yang baru lahir atau orang yang memiliki sistem imun yang lemah. Baca juga : KENALI FENOMENA LONG COVID : Gejala dan Cara Menanganinya Cara Mencapai Herd Immunity Kekebalan kelompok tercapai ketika cukup banyak orang dalam populasi telah pulih dari penyakit dan memiliki antibodi terhadap infeksi di masa depan. Terdapat dua jalur utama untuk menuju herd immunity COVID-19 yaitu infeksi alami dan vaksinasi. Menciptakan kekebalan kelompok dengan infeksi alami akan menimbulkan beberapa masalah lainnya. Seseorang dapat terinfeksi kembali dan belum jelas seberapa lama dapat terlindungi dari infeksi, bahkan dapat terjadi komplikasi serius dan kematian, terutama pada kelompok rentan. Hal ini juga dapat menyebabkan sistem perawatan kesehatan menjadi tidak terkendali bahkan kewalahan. Berbeda dengan infeksi alami, vaksin dapat menciptakan kekebalan kelompok tanpa menyebabkan penyakit atau komplikasi. Mencapai kekebalan kelompok dengan vaksin merupakan cara yang aman dan efektif untuk mengurangi penyebaran atau infeksi sehingga lebih banyak nyawa terselamatkan. Cara ini sudah terbukti dalam mengendalikan panyakit menular lainnya seperti cacar, polio, difteri, dan rubella. Baca juga : Penyakit Tidak Menular (PTM) Tingkatkan Risiko Kematian Akibat COVID-19 Tantangan Mencapai Herd Immunity dengan Vaksinasi COVID-19 1. Keraguan terhadap vaksin Beberapa orang mungkin keberatan untuk mendapatkan vaksin COVID-19 karena keberatan agama, kekhawatiran tentang kemungkinan risiko, atau skeptis tentang manfaatnya. 2. Pertanyaan tentang perlindungan vaksin Banyak menjadi pertanyaan seberapa lama vaksin COVID-19 akan melindungi seseorang dari COVID-19. Penelitian menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 mungkin dapat berkurang efektivitasnya terhadap munculnya beberapa varian baru virus yang bisa lebih tahan terhadap vaksin. 3. Distribusi vaksin yang tidak merata Distribusi vaksin COVID-19 sangat bervariasi antar atau dalam negara. Jika satu komunitas mencapai tingkat vaksinasi COVID-19 yang tinggi dan daerah sekitarnya masih rendah, maka wabah masih dapat terjadi jika populasinya bercampur. Baca juga : Pakar Kesehatan Angkat Bicara Seputar Mutasi COVID-19 dalam Webinar Nasional yang Diselanggarakan oleh KSR UNS Vaksinasi merupakan cara yang efektif dan aman dalam mencapai herd immunity. Perlu Sobat KSR UNS pahami juga bahwa pemberian vaksin bukan berarti kamu menjadi aman dan kebal dari infeksi COVID-19 lho, tetapi kamu akan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi COVID-19. Tentunya tetap tanpa mengabaikan protokol kesehatan dan menjaga kebersihan untuk meminimalisir penularan penyakit ya Sobat! Mari kita wujudkan herd immunity, salah satunya dengan vaksinasi. Stay safe and stay healthy Sobat KSR UNS! [Humas KSR PMI Unit UNS/Aulia Yulia Maryani] Sumber : https://www.who.int/news-room/q-a-detail/herd-immunity-lockdowns-and-covid-19?gclid=CjwKCAjwwsmLBhACEiwANq-tXGPgR1De12z_DOElEnAHi4r1UjsJ1kiv45C0lIcClGlHe56IwZyVLRoChtUQAvD_BwE# https://covid19.go.id/berita/mengulik-tentang-herd-immunity-covid-19 https://infeksiemerging.kemkes.go.id/uncategorized/apa-itu-herd-immunity-kekebalan-kelompok https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/coronavirus/in-depth/herd-immunity-and-coronavirus/art-20486808
Penyakit Tidak Menular (PTM) Tingkatkan Risiko Kematian Akibat COVID-19
Kantor WHO di Jenewa, Swiss ( Sumber :dok Reuters/Denis Balibouse) Hasil studi baru yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan PBB, menunjukkan, bahwa orang yang menderita penyakit tidak menular, lebih rentan terkena sakit parah dan meninggal akibat COVID-19. Pengertian PTM atau Penyakit Tidak Menular PTM atau penyakit tidak menular merupakan suatu penyakit yang apabila melakukan kontak dengan penderita tidak akan menular. PTM dapat disebabkan oleh faktor genetik dan diikuti dengan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadi penyakit tidak menular diantaranya adalah kegemukan, tekanan darah yang meningkat, peningkatan kadar glukosa dalam darah, serta tingkat kolesterol dalam darah yang tidak optimal. Penyakit Tidak Menular masih menjadi situasi yang harus diperhatikan selama pandemi Covid-19. Data dari WHO menjelaskan bahwa penyakit tidak menular telah menyebabkan lebih dari 40 juta orang meninggal di seluruh dunia dalam satu tahun, dan 7 dari 10 kematian global disebabkan oleh penyakit tidak menular. Dari jumlah tersebut, menunjukkan 17 juta orang meninggal dini, sebagian besar antara umur 30 dan 70 tahun. Apa Saja yang Termasuk Penyakit Tidak Menular ?? Diabetes Obesitas Kanker Hipertensi Gangguan Pernapasan Penyakit Jantung Bronkitis Bronkiolitis Koroner Asma dan penyakit tidak menular lainnya Apa Hubungannya PTM dengan Covid-19 ?? Dr. Nick Banatvala, Kepala satuan tugas PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bagian penyakit tidak menular menjelaskan bahwa penyakit tidak menular meningkatkan kerentanan terhadap infeksi COVID-19, dan dapat berakibat buruk, termasuk pada anak muda. Penyebab umum PTM antara lain karena beberapa organ dalam tubuh penderita telah mengalami gangguan. Sehingga, dapat menurunkan imunitas tubuh dan meningkatkan risiko kematian apabila menderita Covid-19. Perlu adanya implementasi untuk memperkuat, dan mempertahankan kapasitas inti kesehatan masyarakat. Dr. Nick Banatvala, Kepala Lembaga PBB Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Sumber : www.unodc.org) Apa Hubungannya PTM dengan Covid-19 ?? Dewan Penasihat & Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Dr. dr. Anwar Santoso, SpJP(K) menjelaskan bahwa selain menjalankan protokol kesehatan Covid-19, masyarakat juga harus memperhatikan upaya optimalisasi pencegahan dan pelayanan pengobatannya contohnya seperti vaksinasi. Penyakit Tidak Menular bisa Berdampak Komplikasi akibat COVID-19 ( Sumber : dok. Tumisu by Pixabay ) Lalu, Penyakit Tidak Menular Apa yang Paling Berisiko Menyebabkan Kematian Akibat Covid-19? “Sebuah studi di Perancis menunjukkan, COVID-19 kemungkinan berkembang parah tujuh kali lebih tinggi, pada pasien dengan obesitas. Perokok, satu setengah kali lebih mungkin mengalami komplikasi parah akibat COVID-19 dan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi. Penderita diabetes memiliki kemungkinan dua hingga empat kali lebih besar, untuk mengalami gejala yang parah atau meninggal dunia akibat COVID-19.” ujar dr. Nick Banatvala. ( Sumber : dok. Diana.grytsku by Freepik ) Jangan Khawatir ! Berikut Beberapa Cara untuk Mencegahnya Untuk mengatasi permasalahan ini harus ada implementasi untuk memperkuat, mengembangkan dan mempertahankan kapasitas inti kesehatan masyarakat. Menurut Juru Bicara Satgas Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro menjelaskan tingginya risiko kematian akibat covid-19 sebenarnya sangat bisa untuk dicegah sejak dini dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: Mengatur pola makan Batasi Konsumsi Gula, Garam, dan Lemak/Minyak Hindari Gula Berlebih Hindari Konsumsi Garam Berlebih Hindari Konsumsi Lemak Berlebih Berolahraga (Berdiri dan berjalanlah minimal 30 menit) Mematuhi Protokol Kesehatan Nah, setelah membaca artikel diatas Sobat KSR UNS pastinya sudah menjadi lebih paham kan tentang PTM atau Penyakit Tidak Menular? Penting nih bagi kita untuk memahami hal-hal yang sangat berisiko disaat pandemi Covid-19. Ingat! Tetap disiplin dengan protokol kesehatan dan jangan lengah dengan keadaan yaa. Stay safe and stay healthy everyone. [Humas KSR UNS/Vera Yuliati] Sumber : http://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/penyakit-tidak-menular-tingkatkan-risiko-kematian-akibat-covid-19 Penyakit Tidak Menular Tingkatkan Risiko Kematian Akibat Covid-19 (voaindonesia.com) https://www.okezone.com/tren/read/2020/10/18/620/2295629/pandemi-covid-19-jangan-lupakan-bahaya-penyakit-tidak-menular?page=2 https://repjabar.republika.co.id/berita/qyull7396/selain-covid-19-antisipasi-juga-penyakit-tidak-menular 3 Cara Cegah Penyakit Tidak Menular yang Picu Kematian Pasien Covid-19 Halaman all – Kompas.com
KENALI FENOMENA LONG COVID : Gejala dan Cara Menanganinya
Long COVID (Sumber : www.ft.com) Mengenal Long COVID COVID-19 masih menyimpan banyak misteri dan masih perlu dilakukannya penelitian berkelanjutan dalam segala aspek, termasuk dampak jangka panjang yang dialami para penyintasnya. Long COVID-19 atau dikenal juga sebagai Long Haul COVID atau Post-Acute-SARS-CoV-2 (PASC) atau Post COVID Conditions adalah gejala sakit berkepanjangan yang diderita penyintas COVID-19 meski sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19. Dr. Nasia Safdar, Direktur Medis Pengendalian Infeksi di University of Wisconsin, mengatakan bahwa kunci untuk membedakan Long Covid adalah dengan memperhatikan gejala baru yang berkembang, atau yang tidak pernah hilang, setelah sekitar 30 hari pasca infeksi. Dr. Nasia Safdar, Direktur Medis Pengendalian Infeksi di University of Wisconsin (Sumber : www.madison.com) Penderita Long COVID-19 tidak akan menularkan gejala yang sama ataupun virus kepada orang di sekitarnya dan tidak semua penyintas pasti mengalami Long COVID-19. Berdasarkan studi yang dilakukan para ahli, diyakini bahwa semakin berat gejala yang dialami penyintas pada saat terinfeksi COVID-19, semakin tinggi pula kemungkinan penyintas tersebut untuk mengalami Long COVID. Gejala Long COVID (Sumber : www.freepik.com) Pada laman covid19.go.id, dr. Yahya Sp.P, Kombespol sekaligus dokter spesialis paru Kabag Pembinaan Fungsi RS. Bhayangkara R. Said Sukanto, memaparkan sebanyak 53,7% pasien merasakan gejala Long Covid selama satu bulan, 43,6% pasien selama 1-6 bulan, dan 2,7% lebih dari 6 bulan. 5-20% pasien COVID-19 mengalami Long COVID-19 lebih dari 4 minggu, diperkirakan 1 tiap 10 pasien COVID-19 dapat mengalaminya hingga lebih dari 12 minggu. Apa yang menyebabkan seseorang mengalami Long COVID ? Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika, Ahli Virologi Universitas Udayana menjelaskan mengapa seorang penyintas dapat mengalami Long COVID, “Semua jaringan tubuh manusia bisa terinfeksi virus COVID-19 ini. Jadi Long Covid ini membuat pasien berisiko kerusakan jaringan tubuh dalam jangka panjang hingga menyebabkan gangguan respon imun dan gangguan saraf. Karena itu mohon jangan lagi menganggap remeh penyakit COVID-19 ini,” pesannya. Selain itu, kondisi psikologis juga bisa menjadi salah satu penyebab Long COVID. Baca juga : Mengenal KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Setelah Vaksinasi COVID-19 Apa saja gejala Long COVID yang umumnya dialami? Gejala atau gangguan kesehatan yang dialami bermacam-macam dan berbeda-beda pada setiap penyintas, berikut adalah gejala yang paling sering ditemui : Sering lupa Depresi Sakit kepala Tinnitus (telinga berdenging) Kelelahan Kehilangan penciuman Batuk terus menerus Sesak napas Nyeri dada Peradangan jantung Palpitasi (jantung berdebar cepat atau kencang) Demam berulang Diare Sakit perut Kesemutann (pins and needles) Nyeri otot Ruam Tidak Perlu Khawatir, Ini yang harus dilakukan! Vaksinasi COVID-19 (Sumber : www.freepik.com) Menurut dr. Nadia Nurotul Fuadah melalui alodokter, ketika seseorang mengalami Long COVID, hal-hal yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu untuk mencegah semakin parahnya gejala yang dialami adalah sebagai berikut : Banyaklah beristirahat. Jangan sembarangan meminum obat. Tidak disarankan meminum minuman yang mengandung kafein, susu, dan soda. Tidak perlu terlalu panik atau cemas. Kelola stress dengan baik dan tetap tenang. Dapatkan tidur yang berkualitas. Anda dapat mengangkat kepala sehingga tidur jadi lebih nyenyak. Anda dapat mengompres area tertentu dengan kompres hangat jika merasa tidak nyaman. Jangan memakan makanan yang mengandung gas. Berolahragalah agar tubuh lebih kuat. Berhentilah merokok agar penyakit tidak bertambah parah. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter terdekat agar dilakukan pengawasan jika gejalanya parah. Petugas kesehatan dapat merujuk Anda ke ahli atau dokter internal, atau fasilitas kesehatan jika penyakit Anda memburuk. Menurut jurnal dari CDC atau Centers for Disease Control and Prevention (2019), pencegahan terbaik dari COVID adalah dengan melakukan vaksinasi COVID-19. Disarankan agar setiap orang yang berusia 12 tahun ke atas mendapatkan vaksin COVID sesegera mungkin. Pasien yang sudah sembuh dari COVID atau Post-COVID juga bisa mendapatkan vaksin. Gaya hidup sehat juga penting untuk melawan gejala virus corona. Tetap disiplin dalam menerapkan protokol Kesehatan. Dukungan lingkungan untuk mengatasi rasa malu atau ketakutan yang tidak berdasar untuk menulari orang lain juga diperlukan untuk membangkitkan semangat para penyintas corona. Baca juga : Akhiri Pandemi Covid-19 dengan Vaksinasi Nah, setelah membaca artikel diatas Sobat KSR UNS sudah menjadi lebih paham kan tentang Long COVID? Penting bagi kita untuk memahami gejala apa saja yang terjadi dan cara menghadapinya ketika tubuh mengalami Long COVID karena kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahan memburuknya kondisi tubuh akibat gejala Long COVID. Yuk gencarkan vaksinasi COVID-19, lawan hoax yang beredar dan sebarkan informasi yang benar. Ingat! Tetap disiplin dengan protokol kesehatan yaa Sobat. Stay safe and stay healthy everyone. [Humas KSR UNS/Aulia Yulia Maryani] Sumber : https://communication.uii.ac.id/long-COVID-gejala-dan-cara-pencegahannya/ https://www.nhs.uk/conditions/coronavirus-COVID-19/long-term-effects-of-coronavirus-long-COVID/ https://COVID19.go.id/tenaga-kesehatan/long-COVID-19-gejala-berkepanjangan-setelah-sembuh-dari-COVID-19 https://indonesiare.co.id/id/article/fenomena-long-COVID-pada-penyintas https://tirto.id/apa-arti-long-COVID-gejala-penyebab-dan-cara-mengatasinya-ggKQ
Mengenal KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Setelah Vaksinasi COVID-19
KIPI adalah singkatan dari Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. World Health Organization (WHO) menyebut kondisi ini sebagai Adverse event following immunization (AEFI) atau bisa dikatakan sebagai Kejadian Merugikan Setelah Vaksinasi. Menurut keterangan WHO, KIPI adalah setiap kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah pemberian imunisasi, dan belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin. Seperti Apa Kategori KIPI yang Mungkin Kita Jumpai?? Menurut WHO, KIPI dikelompokkan ke dalam lima kategori di antaranya adalah: KIPI yang terkait produk vaksin KIPI kelompok ini diakibatkan atau dicetuskan oleh satu atau lebih komponen yang terkandung di dalam produk vaksin. Contohnya pembengkakan luas di tungkai setelah imunisasi DTP. KIPI terkait dengan cacat mutu vaksin KIPI yang terkait dengan cacat mutu vaksin disebabkan atau dicetuskan oleh satu atau lebih cacat mutu produk vaksin, termasuk alat pemberian vaksin yang disediakan oleh produsen. Contohnya kegagalan yang dilakukan oleh produsen vaksin pada waktu melakukan inaktivasi lengkap virus polio saat proses pembuatan vaksin IPV Vaksin polio inaktivasi (IPV). KIPI terkait kekeliruan prosedur imunisasi Kekeliruan prosedur imunisasi disebabkan oleh cara penanganan vaksin yang tidak memadai, penulisan resep atau pemberian vaksin yang sebetulnya dapat dihindari. Contoh dari KIPI ini adalah penularan infeksi karena vial multidosis yang terkontaminasi. KIPI terkait kecemasan terkait imunisasi KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu pemberian imunisasi. Contohnya terjadinya vasovagal syncope (Sinkope vasovagal). Ini merupakan reaksi neurovaskuler yang menyebabkan pingsan pada remaja saat atau sesudah imunisasi. KIPI terkait kejadian koinsiden KIPI ini disebabkan oleh hal-hal di luar produk vaksin, kekeliruan imunisasi atau kecemasan akibat imunisasi. Kejadian koinsiden mencerminkan peristiwa sehari-hari dari masalah kesehatan di masyarakat yang sering dilaporkan. Contoh : Demam yang timbul bersamaan dengan pemberian imunisasi, ini terkait dengan asosiasi waktu. Menteri BUMN Erick Thohir saat meninjau proses vaksinasi ( Photo by Dhemas Reviyanto from ANTARA ) Apa Saja Reaksi KIPI yang sering dijumpai ?? Seorang yang telah divaksinasi Covid-19 tidak diperbolehkan langsung pulang ke rumah, melainkan harus menunggu dulu setidaknya 30 menit. Tujuannya untuk memantau ada atau tidaknya KIPI. Bila 30 menit tidak ada reaksi yang patut dikhawatirkan, seorang yang telah menerima vaksin diperbolehkan untuk pulang. Reaksi KIPI terdiri dari tiga jenis yaitu: Reaksi lokal: nyeri, bengkak, kemerahan di area bekas suntikan. Reaksi lokal yang terbilang parah yakni selulitis. Cara mengatasinya bisa dengan memberikan kompres dingin pada area tersebut. Bila perlu konsumsi obat parasetamol. Reaksi sistemik: demam, nyeri otot seluruh tubuh atau myalgia, nyeri sendi atau artralgia, lemas, dan sakit kepala. Kondisi ini tergolong wajar karena tubuh sedang memproses imunitasnya. Kemenkes RI menyarankan untuk: • Minum air putih yang banyak. • Mengenakan pakaian yang nyaman. • Mengonsumsi parasetamol sesuai dosis. • Kompres hangat atau mandi air hangat. Reaksi lain yaitu alergi : Kondisi ini bisa berupa biduran (urtikaria), anafilaksis (alergi parah hingga sesak napas), dan pingsan. Penting !! Ketiga reaksi di atas tidak cuma menjadi KIPI dari vaksin COVID-19 saja, melainkan semua vaksin memiliki reaksi KIPI yang sama. Wajib diketahui, reaksi setelah vaksin ini sifatnya sementara. Reaksi ini hanya akan bertahan selama beberapa hari. Namun, selama itu kamu harus terus memantau kondisi tubuh. Reaksi dan Gejala yang dirasakan setelah Vaksinasi Covid-19 ( Photo by Jcomp from Freepik ) KIPI terdapat 2 gejala yang sering dialami yaitu, gejala ringan dan gejala berat . Gejala KIPI ringan yang biasanya dirasakan adalah pusing, mual, nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (arthralgia), nyeri di tempat suntikan, kelelahan, malaise (perasaan lelah, tidak nyaman, dan kurang enak badan), dan demam. Sementara gejala KIPI berat adalah istilah yang termasuk KIPI serius dan reaksi berat lainnya, gejala KIPI berat antara lain, kejang, trombositopenia, Hypotonic Hyporensponsive Episode (HHE), hingga menangis terus menerus (pada anak). Komisi Nasional KIPI melaporkan dari awal vaksinasi COVID-19 hingga 16 Mei 2021, Komnas KIPI menerima 229 laporan, diantaranya KIPI serius terdiri dari 211 dari Sinovac dan 18 AstraZeneca. Sementara laporan KIPI ringan ada 10.627, terdiri dari laporan KIPI usai disuntik Sinovac 9.738 dan AstraZeneca 889. Apakah KIPI dapat menyebabkan keraguan masyarakat terhadap keamanan vaksin Covid-19 ?? KIPI bisa juga menimbulkan keraguan bagi masyarakat terhadap keamanan vaksin Covid-19, untuk menghindari keraguan tersebut, perlu adanya sosialisasi yang luas mengenai prosedur yang harus dilakukan apabila masyarakat mengalami gejala KIPI. Keraguan masyarkat terhadap Vaksinasi Covid-19 (Photo by Yanalya from Freepik) Tindakan yang harus dilakukan apabila mendapai gejala KIPI yaitu segera laporkan pada Fasilitas Kesehatan (Faskes)/Puskesmas jika ditemui KIPI yang meresahkan atau menimbulkan perhatian berlebihan pada seorang yang menerima vaksinasi COVID-19, serta bisa juga melalui webisite http://keamananvaksin.kemkes.go.id/ Fasilitas Kesehatan akan segera melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Pokja KIPI untuk dapat menindaklajuti apakah gejala yang dialami berasal dari vaksin Covid-19. Nah Sobat KSR UNS penting bagi kita untuk paham mengenai reaksi dan gejala yang terjadi pada tubuh kita setelah melakukan vaksin Covid-19. Yuk kita dukung kegiatan Vaksinasi Covid-19 dengan menyebarkan informasi yang positif. Diharap informasi diatas dapat membantu dalam menambah informasi mengenai KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Tetap tetap patuhi protokol kesehatan 5M ( Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga Jarak, Menjahui Kerumunan, Mengurangi Mobilitas) Stay Safe and healthy all. [Humas KSR UNS/ Vera Yuliati] Sumber : Informasi Tentang KIPI atau Reaksi Setelah Vaksinasi COVID-19 (covid19.go.id) KIPI adalah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, Ketahui Jenis dan Reaksinya | merdeka.com Free Photo | A man with migraines holds her hand by his nose in the bed. (freepik.com) Mekanisme Pemantauan dan Pelaporan KIPI – Masyarakat Umum | Covid19.go.id
BENTUK PEDULI KEMANUSIAAN, KSR UNS ADAKAN DONOR DARAH RUTIN SAAT PANDEMI
Surakarta-Donor Darah KSR UNS rutin dilaksanakan 2 bulan sekali guna membantu pemenuhan stok darah PMI Kota Surakarta. Rabu, 21 Oktober 2020 KSR UNS kembali menggelar kegiatan donor darah yang bertempat di gedung IKA UNS yang mulai dibuka pukul 15.00 WIB. Donor darah kali ini merupakan kegiatan ketiga yang dilaksanakan KSR UNS selama pandemi, yang diikuti sebanyak 48 pendaftar dan diperoleh 40 kantong darah. Peserta donor darah yang ikut serta dalam donor darah bulan ini berasal dari berbagai kalangan baik mahasiswa, pekerja kantor, maupun masyarat umum. Setiap calon pendonor dilakukan screening secara ketat mulai dari pengecekan suhu dan pengisian form Covid untuk memastikan kesehatan dari calon pendonor. Bentuk penerapan protokol kesehatan lainnya yakni disediakannya tempat cuci tangan dan adanya pengaturan tempat duduk guna menjaga jarak antar peserta. Panitia yang turut serta dalam kegiatan ini adalah mereka yang dalam kondisi sehat dan telah melalui pengecekan suhu tubuh sebelumnya. Menurut Annisa selaku ketua panitia menuturkan “Kegiatan donor darah kali ini walaupun masih dalam kondisi Covid-19 antusiasme masyarakat untuk berkontribusi bagi sesama masih tinggi. Berkat hal tersebut target awal kami mendapatkan 40 kantong tercapai, dan teruntuk teman-teman yang tertolak kali ini silahkan mencoba kembali di PMI Kota masing-masing, tetap semangat untuk berkontribusi bagi orang lain”. dr. Yosa berkata, “Kegiatan yang sangat positif, mengingat sekarang ini lagi masa pandemi, PMI membutuhkan stok darah yang banyak agar stok darahnya stabil, seperti yang kita tahu di masa pandemi permintaan darah semakin meningkat karena banyak yang membutuhkan donor darah, kegiatan yang positif dan harus di lanjutkan di masa- masa ke depan, donor darah sendiri aman karena dari PMI sendiri memakai alat perlindungan yang lengkap dan menyediakan sarana cuci tangan, dari panitia juga menghimbau buat jaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan, menyarankan kepada peserta buat memakai masker agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Tidak perlu takut buat teman-teman untuk melakukan donor di masa pandemi ini dan jangan khawatir karena kita menerapkan protokol kesehatan, semua aman, sehat dan bisa membantu masyarakat” “Menurut saya yang baru pertama kali ini donor disaat pamdemi seperti ini tidak perlu khawatir untuk donor darah, karena saat donor tetap menerapkan protokol kesehatan dan juga petugasnya ramah-ramah. Dengan diadakan donor ini semoga dapat memenuhi stok darah dan dapat membantu masyarakat. Pesan saya, mari donor darah jangan khawatir.” Tutur Khalid Abdul Hakim peserta donor darah Donor darah sangat membantu bagi mereka yang membutuhkan. Selain itu donor darah juga bermanfaat bagi pendonor sendiri, seperti dilansir oleh PMI Indonesia donor darah mampu menjaga kesehatan jantung, meningkatkan produksi sel darah merah, membantu menurunkan berat badan, mendapatkan kesehatan psikologis, dan mendeteksi penyakit serius. Mengingat pentingnya donor darah baik itu bagi pendonor maupun penerima donor, perlunya kesadaran dari masyarakat untuk turut serta berkontribusi. [Humas KSR PMI Unit UNS/Nur Aisyah]