Walaupun sebagai relawan muda,tak ada alasan untuk berpangku tangan tanpa karya. Masyarakat akan bangga dengan relawan muda yang memiliki karya  menarik. Seperti halnya dengan relawan muda PMR SMA N 3 Surakarta yang telah membuat sebuah cerita pendek yang menginspirasi. Hal ini bisa menjadi contoh bagi PMR lain agar terus berkarya  dengan berbagai ide dan gagasannya.

Inilah sebuah cerpen yang berjudul “SAYAP MALAIKAT”..:)

SAYAP MALAIKAT

                “Aduuhh, sakit dok!” bentak Sanma kepada Dokter Rani yang sedang menjalankan tugasnya.
“Bentar lagi kok Dik, sabar ya” ucap suster sembari perlahan mencabut bagian tubuh Sanma yang sakit.
Dan bunyi ‘klek’ itu terdengar lirih di telinga Sanma, seketika itu ia merasa lega karena akhirnya proses operasi berjalan lancar.
“Ini Sanma, kukunya mau dibawa pulang apa biar disini saja?” tanya Dokter Rani kepada Sanma.
“Sini Dok, mau liat aja, nggak mau aku bawa pulang, biar di sini ya Buk?” pinta Sanma keada Ibunya.
“Ya sudah, kalau nggak mau liat, biar di sini aja ya sus” jawab Ibu Sanma, Bu Arti.

Sanma baru saja selesai menjalani operasi kecil mencabut kuku ibu jari kaki kanannya karena infeksi, bersama Ayah dan Ibunya, ia meringis kesakitan setiap kali berjalan.

“Bagaimana besok ya? Pasti sakit banget” gumam Sanma dalam hati menerka-nerka bagaimana besok sekolahnya.
“Eh, tapi kan besok tanggal 10 November, aahh, upacara di alun-alun!” geram Sanma dalam mobil saat perjalanan pulang yang dingin karena hujan deras diluar.

                Setibanya di rumah, Sanma langsung mengunggah foto ibu jarinya yang diperban ke akun instagramnya, ia berharap akan ada ucapan lekas sembuh dari teman-temannya, khususnya Reyhan, laki-laki yang ia sayangi diam-diam 3 tahun belakangan. Namun, bukan ucapan lekas sembuh yang ia dapatkan melainkan ‘peringatan’ dari sahabatnya, begini tulisnya
“Sanmaa!! Kenapa kamu cabut sekarang kukumu, besok pasti kamu nggak bisa ikut upacara dan bakalan di pinggir sama PMR-PMR itu, kamu mau deket sama you-know-who lah?? Perasaanmu Sann!!”

                Aduh, benar juga kata Nita, Sanma mulai bingung, bagaimana jika ia dirawat oleh anggota PMR sekolahnya? Bagaimana jika ia dirawat oleh Syifa? Pikiran Sanma kacau dibawah sinar lampu kamarnya. Syifa adalah perempuan yang menyakiti hati Sanma secara tak sengaja karena ia menjadi perempuan yang sama-sama mengagumi Reyhan dan tampaknya Syifa-lah pemenangnya. Lebih-lebih dirawat oleh Syifa, bertatap muka saja Sanma sudah geram.

Sinar matahari merambat mengenai rupa Sanma yang terlelap dengan sejuta pikirannya mengenai Syifa. Ibu Arti membangunkan Sanma yang masih terlelap, sudah dibangunkan ke-5 kalinya oleh Ibu, tapi tetap saja tak mau bangun, Ibu Arti yang tau jika akan ada upacara Hari Pahlawan di Alun-Alun Kota pun memaksa Sanma bangun dengan mengatakan kata ‘upcara’. Ibu Arti memang selalu punya cara jitu untuk Sanma.

“Hati-hati ya anak, awas jangan sampai kena air kakinya, nanti nggak usah ikut upacara dulu, bilang Ibu Guru ya” pesan Ayah Sanma, Pak Akbar, saat mengantar Sanma ke Alun-Alun Kota.
“Iya-iya yah, ya udah, Sanma berangkat dulu ya Yah, Assalamu’alaikum” pamit Sanma sembari mencium punggung tangan Pak Akbar. Hati Sanma sudah berkecamuk sedari rumah.

Sanma dengan mudah menemukan teman-temannya dan segera mencari guru untuk ijin tidak mengikuti upacara di lapangan karena takut kakinya basah, apalagi Alun-Alun Kota menjadi becek karena diguyur hujan semalam. Setelah bertemu dengan Ibu Guru Lastri, Sanma pun diantar ke tepi Alun-Alun dan diserahkan kepada PMR sekolahnya.
“Ah, kenapa di sini sih Bu? Kenapa harus PMR sekolah kita sendiri? Huh!!” gumam Sanma dalam hati.

Upacara yang baru berjalan setengah acara sudah mulai menimbulkan korban, banyak teman-teman sekolah Sanma yang jatuh pingsan akibat matahari yang biasanya tidak terlalu kejam di musim hujan ini, pagi ini seolah ikut bersemangat menyambut Hari Pahlawan. Salah satu teman Sanma adalah Selly, asma Selly kambuh karena kelelahan, ia pun ditangani langsung oleh PMR sekolah. Namun, betapa kagetnya Sanma, Selly yang dikenal memusuhi Sekar hanya karena hutang, kini diselamatkan oleh Sekar sendiri. Sekar juga merupakan anggota PMR di sekolah. Sekar merawat Selly dengan cekatan dan tampak tak ada apa-apa antara mereka, Sekar menolong Selly dengan ikhlas mengesampingkan egonya, ia memberikan oksigen, minyak kayu putih, dan bantuan medis lainnya yang tidak Sanma mengerti. Sanma trenyuh, apalagi Selly tak bisa berbuat apa-apa, mana mungkin ia mau menolak pertolongan Sekar.

Ditengah hiruk-pikuk PMR yang sibuk merawat pasien-pasien mereka, tiba-tiba Sanma juga ikut pusing, ia mendadak sesak, Sanma memang tak bisa berada di kerumunan orang-orang sakit, apalagi hingga ada yang menangis histeris karena sakit. Sanma mulai menutup-buka matanya, ia pusing, ia tak tahan melihat semua ini, dan tiba-tiba ‘sssttt’ Sanma yang sedari tadi duduk tanpa selonjoran tanpa topangan pun kini sudah ditopang oleh seseorang, ia adalah Syifa.
“San, San, Sanma nggak papa kan? Sanma kenapa? Sekar, tolong minyak kayu putihnya, sama sekalian bawain teh hangatnya” Syifa dengan cekatan langsung menolong Sanma yang hampir jatuh pingsan.
“Sanma tiduran dulu ini, kakinya dinaikin, tenang ya Sanma” rawat Syifa sama persis dengan Sekar memperlakukan Selly, dengan mengesampingkan egonya.

Syifa yang sudah mendapatkan apa yang ia minta, langsung merawat Sanma. Sanma yang masih setengah sadarkan diri pun masih bisa mendengar Syifa, ia ingin berontak tetapi apa daya. Sanma melihat wajah Syifa yang penuh kasih merawatnya, hati Sanma trenyuh, ia menggigit bibirnya menahan air matanya yang akhirnya tak terbendung jua. Ia benar-benar tak habis pikir mengapa Syifa mau berbaik hati menolongnya, hatinya yang keras seperti batu tergerus pelan air matanya sendiri. ‘Ya Allah pemandangan macam apa ini? Mengapa harus seperti ini?’ tangis Sanma dalam hati.
“Loh, Sanma kenapa nangis? Kakinya sakit? Kenapa? Nggak usah nangis Sanma, nggak papa kok” ucapan Syifa semakin membuat Sanma terpukul.
“Syifa, kenapa kamu menolongku? Kenapa? Kamu tau sendiri kan aku nggak suka sama kamu, perlakuanku ke kamu itu jelek banget, kenapa kamu mau nolong aku? Kenapa kamu nggak benci sama aku?” tangis Sanma pecah, membuat suaranya tak jelas terdengar. Namun, Syifa mengerti apa yang dimaksud Sanma.
“sudahlah Sanma, aku nggak papa kok, aku santai aja sama kamu, walaupun kadang benci sih, tapi kan aku anak PMR, mana mungkin aku lepas tanggung jawab dengan melihat temanku sendiri kesakitan” curhatan Syifa pun ia sampaikan kepada Sanma. Syifa pun hampir menitikan air matanya.

Kata-kata Syifa semakin membuat Sanma tersadar akan kesalahannya selama ini. ‘Ya Allah, ini kah cara terindahmu untuk menyadarkanku? Harus seperti ini kah?’ batin dalam hati Sanma juga mulai tersadar.

Ternyata cara ini benar-benar cara yang mengagumkan dari Allah, pemandangan yang menggerus jiwa, penyadaran langsung dari Allah. Sanma merupakan hamba pilihan-pilihan yang disadarkan secepatnya dan seindah ini oleh Allah.

Sanma yang awalnya membenci PMR karena adanya Syifa pun mejadi jatuh hati dengan PMR, organisasi kemanusiaan yang menjadi perantara menyadarkan Sanma, tugas PMR yang mulia berasaskan kekeluargaan dan bekerja dengan mengesampingkan segala ego dalam hati menjadi alasan utama Sanma jatuh hati dan mulai mendaftarkan diri untuk mengabdi menjadi seorang anggota PMR, bukan hanya itu Sanma juga jatuh hati pada perilaku anggotanya yang benar-benar rendah hati,ikhlas, dan menolong tanpa pamrih sedikitpun seperti ‘sayap-sayap Malaikat’ yang diperintah Tuhannya. Walaupun Sanma tidak tahu apa-apa tentang PMR dan merasa dirinya tak mempunyai bakat apa-apa, ia mencoba meyakinkan diri bahwa setiap orang berhak belajar dan tentunya tidak ada kata terlambat untuk orang yang selalu ingin memperbaiki diri.

Tak terasa upacara telah usai, saatnya Sanma dan teman-temannya pulang, Sanma yang masih sedikit lemas pun tak dapat berdiri menopang tubuhnya.

“Ayo San, aku bantu berdiri” ajak Syifa dengan ramahnya, Sanma pun tersenyum tulus.

By Puspa Dwi Nugraheni

TERUS BERKARYA _ Semoga Bermanfaat